Pragmatik: Definisi, Sejarah Singkat, dan Ruang Lingkup Kajian Pragmatik

Pragmatik adalah keterampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topik pembicaraan, tujuan pembicaraan, situasi dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu. Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial performansi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi. Pragmatik menelaah bukan saja pengaruh-pengaruh fonem supra-segmental, dialek, dan register, tetapi justru memandang performansi ujaran pertama-tama sebagai suatu kegiatan sosial yang ditata oleh aneka ragam konvensi sosial. Pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, atau dengan perkataan lain : memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang diucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan : pragmatik = makna – kondisi-kondisi kebenaran.

Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunawan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecendrungan atau tradisi, yaitu :
1.        Kecenderungan antisintaksisme;
2.    Kecenderungan sosial-kritis;
3.    Tradisi filsafat; dan
4.      Tradisi etnometodologi.

Pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan  oleh konvensi yang diterima  secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut [penekanan ditambahkan]. Masing-masing kata yang dicetak miring dalam kutipan di atas adalah ruang lingkup pragmatik.
1.             Informasi
Dari konteks yang lebih luas sebagai tempat lahirnya definisi ini, jelas sekali tampak kalau Cruse bermaksud menyatakan definisi ini memasukkan fenomena-fenomena yang memiliki komponen pragmatik yang jelas (misalnya, acuan) dan mengesampingkan fenomena-fenomena yang dijelaskan dengan mekanisme non-pragmatik tertentu lainnya (misalnya, menarik kesimpulan dari tuturan penuturan yang tertelan karena sedang mabuk).
2.         Enkoding
Dalam enkoding  linguistik, pikiran diubah menjadi bentuk linguistik yang kemudian dapat menjalankan komunikasi. Proses enkoding ini hanya dapat dipahami bila ada konteks komunikasi yang lebih luas dimana ada seorang penerima yang dapat mendekodekan bentuk linguistik yang dikomunikasikan tersebut.
3.         Konvensi
Makna semantik merupakan bentuk makna yang bersifat konvensional – sebagai bagian dari pembelajaran kita terhadap bahasa Inggris sehinggakita dapat tahu bahwa kata berarti hal tertentu berdasarkan konvensi yang telah diterima secara umum.
4.           Konteks
Di samping memainkan peranan penting dalam rekonstruksi argumen, konteks juga tidak dapat dipisahkan dari proses evalusi argumen.


Sumber/Pustaka

Tarigan, H. G. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Subuki, Makyun. 2006. Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program Studi Linguistik?. Jakarta: Blogger.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Komentar

Postingan Populer